Ijazah instan ?
(suatu bukti kesalahan sistim pendidikan di Indonesia)
Empat hari ini Jawa Pos menulis secara lengkap suatu praktek jual beli ijazah palsu. Memang pernah ada iklan yang patut diragukan dari sebuah Perguruan Tinggi Swasta yang menawarkan program studi yang sudah terakreditasi dengan biaya pendaftaran RP. 100.000, uang pangkal Rp. 1.000.000, SPP perbulan Rp. 100.000, sudah mencakup semuanya. Bagaimana cara pengelolaan keuangan untuk proses pembelajarannya ? Dengan rasio mahasiswa 25 orang per program studi mustahil dapat mengatasi semua kebutuhan.
Suatu berita yang tidak mengejutkan di dengar, bahkan saat dua puluh tahun yang lalu. Berita ini, dari sudut pandang lain merupakan suatu berita yang menyayat hati. Tatkala ijazah sebagai lambang formal, sebagai bukti otentik bukti yang diakui keabsahannya secara hukum, secara formil yuridis sah, tetapi secara materiil tidak mempunyai nilai bahkan nol besar. Mengapa ini terjadi di negara Indonesia yang mempunyai Pancasila sebagai sumber atau pandangan hidup bangsa ? Sila pertama Ketuhanan yang maha Esa. Semua perbuatan yang kita lakukan adalah suatu perwujudan atas persembahan kepada Allah SWT. Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Petikan putusan atau penetapan hakim di Indonesia selalu diawali dengan kalimat : “ Demi keadilan yang berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa”. Perasaan malu yang sangat dalam pada diri ini akan tabiat bangsa Indonesia.
Memang sebagian besar tenaga kerja Indonesia adalah unskill labour, mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini berarti hanya sangat sedikit sekali penduduk yang mengenyam pendidikan sampai S1. Di sisi lain, tuntutan pangsa kerja di Indonesia adalah mereka yang mempunyai gelar Sarjana. Untuk saat ini, gelar S1 sudah bukan suatu gelar yang dikagumi. Perkembangan membawa pandangan masyarakat untuk dapat meraih gelar yang lebih tinggi S2, bahkan S3. Bahkan untuk saat ini apabila lulusan S1 tidak mempunyai kompetensi sesuai keilmuannya, di pasar kerja mungkin hanya menduduki posisi operator produksi saja, sama dengan kondisi dua puluh tahun lalu posisi itu diisi lulusan SD / SMP.
Siapakah yang patut disalahkan terhadap kasus ini ? Rektor, Dekan dari PTS yang bersangkutan ? Kopertis ? atau Mentri Pendidikan Nasional ? terakhir ataukah Presiden Republik Indonesia wajib mempertanggung jawabkan hal ini ? atau cukup si pembeli dan penjual ijazah palsu itu saja ?
Secara sangat sederhana hanya pembeli dan penjual ijazah palsu itu saja yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Perbuatan itu memenuhi rumusan delik pemalsuan surat. Berdasarkan ketentuan Pasal 263 KUHP jo Pasal 264 KUH Pidana. Disebutkan :
Pasal 263.
(1) Barangsiapa membuat
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai
Pasal 264.
(1) Pemalsuan
1o. akta-akta otentik;
2o.
3o.
4o. talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu
5o.
(2) Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai
Ijazah merupakan salah satu bentuk suatu akta otentik. Berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata, Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Perbuatan memalsukan ijazah adalah perbuatan pidana dalam kategori kejahatan, si pelaku diancam penjara paling lama delapan tahun. Pertanyaan kemudian siapa sajakah yang dapat dihukum ? ya mereka yang melakukan perbuatan pemalsuan ijazah. Pertama adalah si penandatangan ijazah yaitu Rektor dan Dekan kemudian semua orang yang turut melakukan atau membantu melakukan perbuatan pidana itu. Apabila benar ijazah itu diberikan kepada orang yang sama sekali bukan dan tidak pernah menjalani proses pembelajaran oleh Rektor dan Dekan, maka Rektor dan Dekan sudah dengan sengaja menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya. Sedangkan orang yang membantu melaksanakan perbuatan pidana, ancaman hukumannya dikurangi sepertiganya, berdasarkan Pasal 55-57 KUH Pidana.
Cukupkah hanya sampai si pelaku ? TIDAK . Adanya ijazah palsu merupakan suatu bukti kesalahan sistem pendidikan di
Kedudukan seorang guru hanya cukup bangga dengan syair lagu Hymne Guru. Pahlawan tanpa tanda jasa. Hal ini sangat bertentangan dengan kondisi bangsa Jepang saat Hirosima dan
Bagaimana dengan
Bangsa kita telah mengalami krisis mental berkepanjangan. Sudah menjalar ke semua lini. Sangat memalukan jika dikatakan korupsi sebagai budaya bangsa
Sistim pendidikan harus segera direvisi, harus dibuat naskah akademis dalam setiap perumusan peraturan perundangan tentang pendidikan nasional.
Ubahlah sistim ini, secepat apa yang dapat kita lakukan. Perubahan harus dimulai dari atas. Kejujuran harus dimiliki oleh si pengemban kewenangan, mulai dari pembentuk Undang-Undang hingga yang menerapkan peraturan. Tindak tegas siapapun yang terlibat dalam ijazah palsu. Ciptakan mekanisme pengawasan yang bagus dengan orang yang mempunyai jiwa dan mental yang baik. Dan yang terakhir revisi sistim pendidikan kita. Dari sistim pendidikan yang mendasarkan bukti fisik (ijazah) ke arah kompetensi anak didik. Kompetensi akan moral dan ilmu pengetahuan. Kompetensi moral hanya bisa dicapai dengan menerapkan ajaran agama ke dalam sistim pendidikan. Agama seharusnya menjadi landasan setiap mata pelajaran atau mata kuliah, bukan menjadi bidang pelajaran atau nama mata pelajaran. Memiliki ilmu pengetahuan tanpa dibarengi moral yang baik, akan hancurlah bangsa
Ingatlah kembali wahai para guru …. (Dosen adalah guru)….anda mempunyai tanggung jawab mengajar dan mendidik). Tepatlah kiranya, untuk saat ini kita katakan apa yang dapat kita lakukan untuk bangsa dan negara
Tetaplah semangat !!!