Senin, 15 September 2008

Mencermati kembali Fungsi Serikat Pekerja

Berdasarkan Undang- Undang No. 21 Tahun 2000, Telah di publikasikan dalam jurnal Yuridika Vol. 21 No. 6 Tahun 2006

Abstrak
Serikat pekerja adalah bentuk perwujudan dari pelaksanaan hak untuk berserikat dan berkumpul. Keberadaan serikat pekerja sangat penting bagi kelangsungan hubungan industrial. Serikat pekerja diharapkan dapat melaksanakan fungsinya secara maximal dalam rangka meningkatkan hubungan industrial di tingkat perusahaan. Fungsi serikat pekerja ada enam, yaitu sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial, sebagai sarana pencipta hubungan industrial yang harmonis, sebagai sarana penyalur aspirasi pekerja, sebagai penanggung jawab mogok dan wakil pekerja dalam memperjuangkan kepemilikan saham.

Kata Kunci : serikat pekerja, fungsi, hubungan industrial.

Pendahuluan
Setiap manusia selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mendapatkan biaya hidup seseorang perlu bekerja, secara mandiri atau bekerja kepada orang lain. Pekerja atau buruh adalah seseorang yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah[1]. Sedangkan tenaga kerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 2 UU no. 13 tahun 2003 adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Lapangan pekerjaan di Indonesia mengalami pergeseran dari sektor agraris menuju sektor industri dan jasa. Pada tahun 1971, ada 73,04% tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian, 11,19 % bekerja disektor industri dan 15,76 % bekerja di sektor jasa. Pada tahun 1990, terjadi perubahan yang cukup drastis di sektor pertanian menurun menjadi 49,9 % , sisanya 50,1 % disektor industri dan jasa [2]. Adanya perubahan jenis pekerjaan mengakibatkan adanya perubahan paradigma yang semula bersifat material (physical asset) bergeser menuju persaingan pengembangan pengetahuan (knowledge based competition). Perubahan tersebut menuntut adanya efisiensi dan efektifitas penggunaan sumber daya manusia sebagai landasan bagi setiap organisasi / institusi agar mampu bersaing dan memiliki keunggulan kompetitif [3].
Kenyataannya, Lapangan pekerjaan yang ada tidak sebanding dengan jumlah tenaga kerja yang tersedia. Sebagian besar tenaga kerja yang tersedia adalah yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. Mereka kebanyakan adalah unskillabour, sehingga posisi tawar mereka adalah rendah. Di Indonesia terdapat 11,6 juta penduduk yang menganggur (pengangguran terbuka). 30 juta orang tergolong setengah menganggur dan 36 juta penduduk berpenghasilan dibawah Rp. 150.000 perbulan dari total angkatan kerja sebesar 106,9 juta. Separuh angkatan kerja yang ada berpendidikan sekolah dasar , atau bahkan tidak lulus SD. Penduduk yang tergolong bekerja ada 70 % bekerja di sektor informal dengan tingkat produktifitas rendah, sedangkan 30 % di sektor formal[4] .
Keadaan ini menimbulkan adanya kecenderungan majikan untuk berbuat sewenang- wenang kepada pekerja / buruhnya.
Buruh dipandang sebagai obyek. Buruh dianggap sebagai faktor ektern yang berkedudukan sama dengan pelanggan pemasok atau pelanggan pembeli yang berfungsi menunjang kelangsungan perusahaan dan bukan faktor intern sebagai bagian yang tidak terpisahkan atau sebagai unsur konstitutip yang menjadikan perusahaan[5]
Majikan dapat dengan leluasa untuk menekan pekerja / buruhnya untuk bekerja secara maksimal, terkadang melebihi kemampuan kerjanya. Misalnya majikan dapat menetapkan upah hanya maksimal sebanyak upah minimum propinsi yang ada, tanpa melihat masa kerja dari pekerja itu. Seringkali pekerja dengan masa kerja yang lama upahnya hanya selisih sedikit lebih besar dari upah pekerja yang masa kerjanya kurang dari satu tahun. Majikan enggan untuk meningkatkan atau menaikkan upah pekerja meskipun terjadi peningkatan hasil produksi dengan dalih bahwa takut diprotes oleh perusahaan – perusahaan lain yang sejenis.
Perlindungan hukum terhadap pekerja sangat dibutuhkan. Serikat pekerja dimaksudkan dapat berfungsi sebagai wadah pekerja dalam menyalurkan spirasinya. Adanya UU No. 21 Tahun 2000 adalah wujud upaya pemberian perlindungan hukum bagi pekerja. Fungsi Serikat pekerja diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2000 . Sayangnya sampai sekarang ketentuan itu belum dijabarkan, sehingga sangat membutuhkan penafsiran hukum.

Perlindungan hukum bagi pekerja
Secara sosiologis kedudukan buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripada itu, ia terpaksa bekerja pada orang lain. Dan majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja .[6] Mengingat kedudukan pekerja yang lebih rendah daripada majikan maka perlu adanya campur tangan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukumnya. Perlindungan hukum menurut Philipus
selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang selalu menjadi perhatian yakni kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah), terhadap pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi silemah (ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja terhadap pengusaha.[7]

Perlindungan hukum bagi buruh sangat diperlukan mengingat kedudukannya yang lemah. Disebutkan oleh Zainal Asikin, yaitu :
Perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis .[8]

Bruggink membagi keberlakuan hukum menjadi tiga, yaitu keberlakuan faktual, keberlakuan normatif dan keberlakuan evaluatif / material.
Keberlakuan faktual yaitu kaidah dipatuhi oleh para warga masyarakat/ efektif kaidah diterapkan dan ditegakkan oleh pejabat hukum; keberlakuan normative yaitu kaidah cocok dalam system hukum herarkis,; keberlakuan evaluatif yaitu secara empiris kaidah tampak diterima, secara filosofis kaidah memenuhi sifat mewajibkan karena isinya.[9]

Perlindungan hukum bagi pekerja pada dasarnya ditujukan untuk melindungi hak- haknya. Perlindungan terhadap hak pekerja bersumber pada Pasal 27 ayat (2) UUD,45 yaitu Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selain itu jaminan perlindungan atas pekerjaan, dituangkan pula dalam ketentuan pasal 28 D ayat (1), yaitu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 28 D ayat (2), yaitu setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.Ketentuan tersebut, menunjukkan bahwa di Indonesia hak untuk bekerja telah memperoleh tempat yang penting dan dilindungi oleh UUD 1945.
Pekerja adalah bagian dari bangsa Indonesia, sehingga berhak pula untuk dilindungi dan mendapatkan penghidupan yang layak. Kriteria penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dapat diartikan terciptanya kesejahteraan pekerja. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 31 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (LN Tahun 2003 No. 39, TLN No. 4279), kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.

Kebebasan berserikat dan berkumpul bagi pekerja
Salah satu bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah bagi pekerja adalah adanya jaminan atas kebebasan berserikat dan berkumpul dalam suatu wadah serikat buruh/ pekerja. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta menyampaikan pendapat merupakan hak dasar yang dimiliki oleh warga negara dari suatu negara hukum demokratis yang berkedaulatan rakyat. Hak-hak yang dimiliki manusia berdasarkan martabatnya sebagai manusia dan bukan karena pemberian masyarakat atau negara disebut hak asasi manusia[10]. Hak asasi manusia dalam negara hukum tidak dapat dipisahkan dari ketertiban dan keadilan. Pengakuan atas negara hukum salah satu tujuannya melindungi hak asasi manusia, berarti hak dan sekaligus kemerdekaan atau kebebasan perorangan diakui, dihormati dan dijunjung tinggi[11]. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari negara hukum.[12]
Kebebasan berserikat dan berkumpul termuat dalam konvensi ILO tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak berorganisasi, 1948 (No.87) telah diratifikasi dan dituangkan dalam Keputusan Presiden RI No. 83 Tahun 1998, dan Konvensi ILO tentang hak berorganisasi dan berunding bersama, 1949 (No. 98) telah diratifikasi dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1956. Konvensi No. 87 dimaksudkan secara keseluruhan untuk melindungi kebebasan berserikat terhadap kemungkinan campur tangan pemerintah. Konvensi No. 98 ditujukan untuk mendorong pengembangan penuh mekanisme perundingan kolektif sukarela.
Perjuangan untuk mendirikan serikat buruh/ pekerja yang mandiri untuk memperjuangkan hak buruh sebenarnya telah ada sejak pemerintahan Hindia Belanda yaitu sejak abad 19 dan berlansung hingga sekarang. Pada tahun 1879 lahir Nederland Indische Onderwys Genootschap (NIOG) atau serikat pekerja guru Hindia Belanda. Selanjutnya disusul lahirnya beberapa serikat pekerja seperti Pos bond, Cultuur Bond, Zuiker Bond, Spoor Bond.[13]
Keberadaan serikat buruh atau pekerja pada masa pemerintahan Presiden Soeharto belum memenuhi prinsip dasar serikat buruh. Prinsip dasar serikat buruh ada tiga yaitu kesatuan, mandiri dan demokratis.
Prinsip kesatuan yaitu adanya solidaritas dikalangan buruh bahwa mereka merupakan satu bagian tak terpisahkan dalam organisasi Prinsip kemandirian maksudnya organisasi buruh harus bebas dari dominasi kekuatan dari luar buruh, baik itu pemerintah, majikan, partai politik, organisasi agama atau tokoh-tokoh individual. Prinsip demokratis artinya mendapat dukungan dan partisipasi penuh para anggotanya.[14]

Tiga prinsip dasar serikat buruh itu belum dapat dilaksanakan dengan penuh pada masa Orde Baru karena serikat buruh yang diakui saat itu hanya ada satu yaitu serikat buruh seluruh Indonesia (SPSI). Pada masa Orde Baru itu pulalah muncul suatu serikat buruh tandingan SPSI yaitu serikat buruh seluruh Indonesia (SBSI) di bawah Mochtar Pokpohan. Karena tidak dikehendaki oleh pemerintah Soeharto, akhirnya ia ditahan dan bebas setelah era reformasi.
Perjuangan pekerja melalui Serikat Buruh / Pekerja selama ini masih terbatas pada memperjuangkan hak- hak yang bersifat normatif, yaitu hak hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan saja. Belum mengarah pada hal- hal yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Selama ini penyelesaian perselisihan hubungan industrial hanya dibatasi pada perselisihan hak saja. Perselisihan kepentingan masih belum banyak diselesaikan oleh P4 atau Pengadilan Hubungan Indsustrial.
Berdasarkan ketentuan Pasal 56 UU No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial ( LN Tahun 2004 No.6, TLN No. 4356 ), Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja
/ serikat buruh dalam satu perusahaan.

Iman Soepomo, menyebutkan jenis perselisihan perburuhan dibedakan antara perselisihan hak (rechtsgeshil) dan perselisihan kepentingan (belangengeschil) [15].Menurut H.M. Laica Marzuki, terdapat dua macam karakteristik perselisihan yang mewarnai kasus- kasus perburuhan, yakni :
(1). Kasus perselisihan hak ( rechtsgeschil, conflict of right ) yang berpaut dengan tidak adanya persesuaian yang demikian itu, menitikberatkan aspek hukum (rechtsmatigheid) dari permasalahan, utamanya menyangkut pencenderaan janji (wanprestasi) terhadap perjanjian kerja, suatu pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
(2). Kasus perselisihan kepentingan ( belangeschillen, conflict of interest) yang berpaut dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai syarat-syarat kerja dan / atau keadaan perburuhan, utamanya menyangkut perbaikan ekonomis serta akomodasi kehidupan para pekerja. Perselisihan sedemikian menitikberatkan aspek doelmatigheid permasalahan[16]

Berkaitan dengan adanya dua pendapat itu, maka jenis perselisihan hubungan industrial huruf c dan huruf d , sebenarnya sudah termasuk di dalam rumusan perselisihan hak. Menurut Aloysius Uwiyono, dalam perselisihan hak, hukumnya yang dilanggar, tidak dilaksanakan atau ditafsirkan secara berbeda[17] . UU No. 2 Tahun 2004 terlalu berlebihan di dalam merumuskan jenis perselisihan hubungan industrial.
Menurut Laica Marzuki, suatu kasus perselisihan industrial tidak selalu berpaut dengan perselisihan tentang tidak dipenuhinya perjanjian kerja. Tidak sedikit kasus perselisihan industrial yang justru tidak lagi menghendaki pemenuhan perjanjian yang disepakati. Salah satu pihak pada umumnya pihak pekerja menghendaki agar perjanjian yang telah dijalin diadakan perubahan, karena dipandang tidak lagi menjamin standarisasi kehidupan keluarga mereka.[18]
Karakteristik perselisihan hak, pada intinya perselisihan hak normative atau hak atas hukum dalam hubungan kerja, yakni perselisihan yang menitikberatkan aspek hukum (rechtsmatigheid), sebagai akibat terjadinya pelanggaran / tidak dipenuhinya hak, perbedaan perlakuan atau penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan maupun perjanjian kerja bersama, sedangkan karakteristik perselisihan kepentingan berkaitan dengan syarat-syarat kerja dan / atau keadaan perburuhan , yang menitikberatkan pada kebijaksanaan ( doelmatigheid permasalahan), di luar aspek hukum[19]
Dari pendapat Iman Soepomo, Laica Marzuki, Alousius Uwiyono dan Wijayanto Setiawan dapat diketahui bahwa PHI hanya berwenang untuk mengadili perselisihan hak saja. Mustahil dapat menyelesaikan perselisihan kepentingan. Perselisihan kepentingan hanya dapat diselesaikan melalui jalur non litigasi , yaitu mediasi, konsiliasi atau arbitrasi. Ketiga lembaga itu akan menyelesaikan dengan mencari win-win solution dalam bentuk kesepakatan. Apabila perselisihan kepentingan di selesaikan melalui jalur PHI, maka hakim PHI akan menggunakan aturan hukum dengan menomor duakan kesepakatan yang dicapai melalui win-win solution.
Untuk hal ini, kita dapat mencontoh suatu system yang ada di Jepang yang dikenal dengan bagi laba (profit sharing), kemitraan (co-partnership), kepemilikan saham (shareholding) untuk mendorong pekerja lebih giat bekerja lagi karena merasa dihargai martabatnya dengan diikut sertakan dalam penentuan pengambilan kebijakan perusahaan.
Hubungan industrial adalah hubungan hukum perjanjian, sehingga kedudukannya adalah sedeajat, bukan subordinate . Pada kedudukan hukum mereka selaku pihak-pihak yang mengikatkan diri pada satu perjanjian (overeenkomst) maka baik majikan selaku pihak pemberi kerja (werk gover), maupun buruh selaku pihak penerima kerja (werk nemer) adalah dibebani dengan hak dan kewajiban, keduanya berhak meminta dan menuntut pemenuhan janji sesuai bunyi dan syarat-syarat suatu perjanjian kerja / perjanjian perburuhan (CLA). Majikan selaku pemberi kerja tentu saja berhak meminta dan menuntut pemenuhan janji pada buruh namun tidak berarti bahwa majikan dalam kedudukan selalu pemberi kerja lalu memiliki apa yang disebut hershermacht (kekuasaan memerintah) terhadap buruh, sebagai lazim dikenal dalam publiek rechtelijk negara terhadap burger.[20]
Keberadaan serikat pekerja saat ini lebih terjamin dengan diundangkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja / serikat buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 No. 131, Tambahan Lembaran Negara No. 3898). Sebelum adanya UU No. 21 Tahun 2000, kedudukan serikat pekerja secara umum dianggap hanyalah sebagai kepanjangan tangan atau boneka dari majikan, yang kurang memperjuangkan aspirasi anggotanya.
Pada masa reformasi setelah adanya UU NO. 21 Tahun 2000 dimungkinkan dibentuk serikat buruh/ pekerja lebih dari satu. Hal ini menyebabkan keberadaan serikat pekerja/serikat buruh banyak didirikan di satu perusahaan. Sayangnya karena ketidak siapan buruh melaksanakan hak berserikat dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mengeruk keuntungan bagi kepentingannya sendiri dengan menjual bangsa. Dikatakan demikian karena berdasarkan UU No. 21 Tahun 2000 diperbolehkan serikat pekerja / buruh itu menerima sumbangan dana atau bantuan dari negara lain.
Bantuan itu digunakan untuk pelatihan, program, maupun dana rutin. Misalnya bantuan dari American Center for International Labor Solidarity (ACILS), Union Network International (UNI) yang berbasis di Geneva. SPSI Reformasi memperoleh bantuan dana dari International Confederation of Trade Union (ICFTU). AJI memperoleh dana dari International Federation of Journalists. SBSI menerima dana dari serikat buruh Kristen Belanda (CNV) dan World Confederation of Labor (WCL), selain iuran dari 70 persen anggotanya yang kini, telah mencapai 1.693.275 orang. SBJ memperoleh dana dari organisasi buruh di Denmark.[21]

Sering pula keberadaan serikat pekerja/ buruh yang lebih dari satu jumlahnya di satu perusahaan justru memicu terjadinya perselisihan perburuhan yang dapat berakibat mogok kerja dan tindak pidana yang seharusnya justru bertentangan dengan tujuan disahkannya UU No. 21 tahun 2000 tersebut.
Saat ini serikat pekerja / buruh menghadapi dilemma antara dua tantangan.
Tetap mempertahankan kondisi tradisional yang mereka miliki atau berubah menjadi dinamis. Tantangan globalisasi berdampak pada pengurangan jumlah anggota karena sistem kerja yang berubah. Tantangan kemandirian terletak pada kemandirian dana. Dari ketergantungan pada bantuan/dana dari organisasi lain untuk pelaksanaan kegiatan, menuju kepada kemandirian sumber dana. Adanya kebutuhan kepemimpinan serikat pekerja yang kuat dan benar-benar mewakili kepentingan anggotanya (strong leadership and wellrecognized).[22]

Perlunya penafsiran tentang fungsi serikat pekerja
Fungsi serikat buruh/ pekerja yang dirumuskan dalam UU No. 21 Tahun 2000 belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Fungsi berasal dari kata function, artinya something that performs a function : or operation[23]. Fungsi dapat pula diartikan sebagai jabatan (pekerjaan) yang dilakukan : jika ketua tidak ada maka wakil ketua melakukan fungsi ketua ; fungsi adalah kegunaan suatu hal; berfungsi artinya berkedudukan, bertugas sebagai ; menjalankan tugasnya[24] Fungsi serikat buruh / pekerja dengan demikian dapat diartikan sebagai jabatan, kegunaan, kedudukan dari serikat buruh/ pekerja.
Berdasarkan ketentuan pasal 4 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000, yaitu
(1) Serikat pekerja/ serikat buruh, federasi and konfederasi serikat pekerja/ serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/ buruh dan keluarganya.
(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serikat pekerja/ serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/ serikat buruh mempunyai fungsi :
a. sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial;
b. sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan seseuai dengan tingkatannya;
c. sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan sesuai dengabn peraturan perundang-undangan;
d. sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
e. sebagai perencana, pelaksana dan penanggung jawab pemogokan pekerja/ buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. sebagai wakil pekerja/ buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan.

Belum adanya ketentuan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang fungsi serikat buruh / serikat pekerja mengakibatkan diperlukan adanya interpretasi dari ketentuan pasal 4 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000.

(a) sebagai pihak dalam pembuatan PKB dan penyelesaian perselisihan perburuhan
Fungsi pertama dari serikat pekerja adalah sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama atau PKB. Istilah perjanjian kerja bersama (PKB) ada setelah diundangkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000, dimaksudkan untuk menggantikan kedudukan kesepakatan kerja bersama (KKB). Pembuat undang-undang menganggap penertian dari PKB sama dengan KKB. PKB merupakan terjemahan dari Collective Labour Agreement (CLA). Sentanoe Kertonegoro, menganggap KKB tidak sama dengan PKB, yaitu :
Perjanjian Kerja Bersama adalah :
1. Dasar dari individualisme dan liberalisme ( free fight liberalisme ) berpandangan bahwa antara pekerja dan pengusaha adalah dua pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda dalam perusahaan
2. Mereka bebas melakukan perundingan dan membuat perjanjian tanpa campur tangan pihak lain;
3. Dibuat melalui perundingan yang bersifat tawar-menawar (bargaining) masing-masing pihak akan berusaha memperkuat kekuatan tawar-menawar, bahkan dengan menggunakan senjata mogok dan penutupan perusahaan;
4. Hasilnya adalah perjanjian yang merupakan keseimbangan dari kekuatan tawar menawar


Kesepakatan Kerja Bersama
1. Dasar adalah hubungan industrial Pancasila berpandangan bahwa antara pekerja dan pengusaha terdapat hubungan yang bersifat kekeluargaan dan gotong royong;
2. Mereka bebas melakukan perundingan dan memeuat perjanjian asal saja, tetapi memeperhatikan kepentingan yang lebih luas yaitu masyarakat, bangsa dan negara;
3. Dibuat melalui musyawarah untuk mufakat, tidak melalui kekuatan tawar menawar tetapi yang diperlukan sifat yang keterbukaan, kejujuran dan pemahaman terhadap kepentingan semua pihak. Kehadiran serikat pekerja dalam rangka meningkatkan kerjasama dan tanggung jawab bersama;
4. Hasilnya adalah suatu kesepakatan yang merupakan titik optimal yang bisa dicapai menurut kondisi yang ada, dengan memperhatikan kepentingan semua pihak.[25]

Apabila dicermati pendapat Sentanoe mengenai perbedaan antara PKB dengan KKB, tampak ada peluang yang dapat dipergunakan oleh majikan dalam hal memanfaatkan suatu keadaan dari pengertian KKB untuk menekan buruh dalam hal memperjuangkan haknya. Pada pengertian KKB, lebih ditekankan semua pihak tidak hanya mementingkan kepentingannya tetapi harus memperhatikan juga kepentingan bangsa dan negara. Sebagai contoh pemerintah telah menetapkan upah minimum propinsi/ kota . Ketentuan UMP itu seolah-olah dijadikan dasar bagi majikan sebagai untuk memberikan upah kepada buruhnya selama-lamanya tanpa melihat lama kerja buruh, prestasi atau keuntungan yang diperoleh perusahaan. Memang ada peningkatan upah berdasarkan lamanya masa kerja atau prestasi tetapi apabila dibandingkan dengan perolehan keuntungan majikan sangat jauh. Ada dalih dari majikan untuk tidak memberikan kenaikan upah bagi buruhnya diatas ketentuan UMP, yaitu perusahaan bisa saja memberikan kenaikan upah berdasarkan presentasi keuntungan yang diperoleh perusahaan, tetapi hal ini tidak dilakukan karemna nati akan diprotes oleh perusahaan yang sejenis yang dapat mengakibatkan mogok kerja pada perusahaan lainnya sehingga mengganggu stabilitas nasional. Ironis memang antara besarnya upah buruh pabrik rokok dengan kekayaan yang dimiliki oleh majikan pemilik pabrik rokok itu. Sementara pemilik dapat keliling dunia, memiliki koleksi mobil mewah sementara buruh pabrik rokok hanya dapat bersyukur apabila dapat mengangsur rumah sangat sangat sederhana melalui KPR-BTN.
Bagi pekerja, upah merupakan tujuan, karena dengan upah akan digunakan untuk biaya pemenuhan kebutuhan hidup. Bagi pengusaha, upah merupakan biaya produksi, sehingga ia akan sangat hati- hati dalam menetapkan upah. Bagi pemerintah, upah harus ditetapkan standart kelayakannya sesuai dengan batas minimal kebutuhan gizi pekerja dan keluarganya, meningkatkan produktifitas dan daya beli. Dilain pihak merupakan alat untuk mendorong investasi, mendorong pertumbuhan ekonomi dan menekan laju inflasi.[26]
Dari uraian itu maka sepatutnyalah kita beralih paradigma dari KKB ke PKB yang lebih memberikan posisi madiri bagi serikat buruh untuk berperan aktif dalam pembuatan PKB.
Sebagai pihak dalam pembuatan PKB saat ini ternyata menimbulkan problema. Setelah adanya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000, dimungkinkan terbentuk lebih dari satu serikat pekerja/ buruh di satu perusahaan. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Pada masa itu karena serikat pekerja / buruh hanya diakui satu di seluruh Indonesia yaitu serikat pekerja seluruh Indonesia (SPSI) maka hanya SPSI unit kerja PT X saja yang berhak sebagai pihak dalam pembuatan KKB apabila memenuhi ketentuan jumlah anggotanya adalah minimal 50 % dari jumlah pekerja yang ada di perusahaan itu. Hal ini diatur dalam pasal 130 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003.
Berdasarkan ketentuan pasal 2 Konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak berorganisasi yaitu pengusaha dan pekerja mempunyai hak untuk membentuk,dan tunduk hanya pada peraturan organisasi yang bersangkutan, bergabung dengan organisasi pilihannya sendiri. Adanya monopoli serikat pekerja pada saat itu dalam wadah SPSI menurut Sentanoe
Hanya dapat dibuat dalam hubungannya dengan perwakilan (representative) untuk maksud perundingan kolektif, konsultasi oleh pemerintar, atau penunjukan wakil-wakil pada organisasi internasional. Tetapi tidak boleh digunakan untuk mencegah berfungsinya organisasi minoritas. Organisasi-organisasi minoritas setidak-tidaknya harus memiliki hak untuk melakukan perwakilan atas nama para anggotanya dan mewakili anggota dalam hal keluhan-keluhan individual.[27]

Setelah diundangkannya UU No. 21 Tahun 2000 maka ketentuan yang menyatakan bahwa hanya serikat pekerja yang didukung oleh 50 % dari jumlah pekerja yang ada memerlukan penafsiran hukum karena apabila ketentuan itu dipaksakan maka serikat pekerja yang tidak didukung oleh 50 % jumlah buruh yang ada tidak akan dapat berkedudukan sebagai pihak dalam pembuatan PKB. Serikat Buruh tersebut harus berupaya untuk mencari dukungan untuk memperbanyak jumlah anggota, supaya dapat mecapai angka 50 %. Kesulitan lain akan timbul apabila ternyata di suatu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat buruh sementara dari serikat buruh yang telah ada itu belum mencapai dukungan oleh 50 % jumlah buruh yang ada.
Penafsiran hukum itu diantaranya adalah meniadakan ketentuan banyaknya presentasi dukungan terhadap serikat buruh itu dari jumlah buruh yang ada. Semua serikat pekerja/ buruh yang telah ada di perusahaan itu mempunyai kedudukan yang sama dan berhak sebagi pihak dalam pembuatan PKB tanpa memperhatikan presentasi dukungan dari jumlah buruh yang ada. Adapun jumlah anggota dari satu serikat buruh yang akan ikut berunding dalam pembentukan PKB ditentukan berdasarkan presentasi. Misalnya di suatu perusahaan terdapat lima serikat buruh yaitu :
1. Serikat Buruh A didukung oleh 30 % dari jumlah buruh yang ada,
2. Serikat Buruh B didukung oleh 20 % dari jumlah buruh yang ada,
3. Serikat Buruh C didukung oleh 10 % dari jumlah buruh yang ada,
4. Serikat Buruh D didukung oleh 30 % dari jumlah buruh yang ada,
5. Serikat Buruh E didukung oleh 10 % dari jumlah buruh yang ada
Semua serikat buruh yang yaitu ABCD dan E mempunyai kedudukan yang sama dalam hal sebagai pihak dalam pembuatan PKB. Hanya saja wakil serikat buruh yang telah ada itu untuk dapat sebagai pihak yang akan melakukan perundingan ditentukan berdasarkan presentasi perolehan dukungan. Hal ini disebut dalam pasal 130 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 dengan menugaskan seluruh serikat pekerja / buruh yang ada di perusahaan itu untuk membentuk tim perunding secara proporsional.
Misalnya untuk 5 % dukungan dari buruh yang ada maka dapat diwakili oleh satu orang. Maka serikat Buruh A berhak menempatkan 4 orang wakilnya, Serikat Buruh B berhak menempatkan 4 orang wakilnya, Serikat Buruh C berhak menempatkan 2 orang wakilnya, Serikat buruh D berhak menempatkan 6 orang wakilnya dan Serikat Buruh E berhak menempatkan 2 orang wakilnya. Dengan demikian maka serikat Buruh yang mayoritas maupun yang minoritas sama-sama dapat menyalurkan aspirasinya dan dapat turut berperan aktif dalam pembuatan PKB.
Selanjutnya fungsi serikat pekerja yang lainnya adalah sebagai pihak dalam penyelesaian perselisihan industrial. Perselisihan hubungan industrial berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 22 UU No. 13 Tahun 2003 yaitu : perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja / buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Dari ketentuan itu dapat diketahui bahwa perselisihan pindustrial dapat terjadi antara subyek hukum yaitu :
a.Pengusaha dan pekerja
b.Pengusaha atau gabungan pengusaha dan serikat pekerja atau gabungan serikat pekerja
Selain itu perselisihan perburuhan itu obyeknya dapat meliputi :
a. pelaksanaan syarat-syarat kerja di perusahaan,
b. pelaksanaan norma kerja di perusahaan,
c. hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja, dan
d. kondisi kerja di perusahaan[28]

(b) sebagai wakil dalam lembaga kerja sama
Fungsi serikat pekerja yang kedua adalah sebagai wakil dalam lembaga kerja sama. Hal ini diuraikan lebih lanjut dalam penjelasan pasal 4 ayat (2) huruf b yaitu yang dimaksud dengan lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan, misalnya lembaga kerja sama bipartid, lembaga kerjasama tripartid dan lembaga-lembaga lain yang bersifat tripartid seperti Dewan Pelatihan Kerja Nasional, Dewan Keselamatan Kerja, atau Dewan Penelitian pengupahan.

(c) sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan
Berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (2) huruf c bahwa serikat pekerja/ serikat buruh merupakan sarana dalam menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada fungsi yang kedua ini serikat pekerja / buruh diharapkan dapt menempatkan diri sebagai mitra usaha yang baik yang memperhatikan dua kepentingan yang berbeda untuk disatukan. Tetap memperjuangkan aspirasi pekerja dengan tanpa mengabaikan kepentingan pengusaha. Serikat pekerja harus bijaksana dan adil dalam melakukan pilihan kepentingan pekerja yang akan diperjuangkan denganmemperhatikan kondisi pengusaha.

(d) sebagai sarana penyalur aspirasi
Fungsi keempat adalah sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya. Fungsi ini di dalam penjelasan pasal demi pasalnya dikatakan cukup jelas. Padahal ketentuan ini masih membutuhkan penafsiran. Perlu adanya batasan mengenai hak dan kepentingan yang bagaimana yang perlu diperjuangkan, jangan sampai hak pekerja yang yang kurang penting sangat diperjuangkan dengan mengabaikan kepentingan bersama yang jauh lebih besar. Kenyataan yang ada banyaknya serikat pekerja / buruh yang ada di perusahaan memicuterjadinya pertentangan antar serikat pekerja dengan dalih memperjuangkan hak anggota yang kurang prinsip untuk menarik simpati pekerja menjadi anggotanya. Misal diperusahaan X di wilayah Sidoarjo yang memiliki empat serikat pekerja, satu mayoritas tiga lainnya adalah tidak lebih dari 20 % jumlah pekerja yang ada, saling berlomba memperjuangkan kenaikan tunjangan transport dengan selisih hanya ratusan rupiah. SP –A memperjuangkan kenaikan transport Rp 50; SP- B memperjuangkan kenaikan Rp 75 dan SP- C memperjuangkan kenaikan transport Rp 100. Mereka bertiga mampu mengancam anggota dari SP-D yang mayoritas untuk wajib berpartisipasi negatif dalam turut mogok kerja.

(e) sebagai perencana, pelaksana dan penanggungjawab pemogokan buruh.
Fungsi kelima yaitu sebagai perencana, pelaksana dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi ini saling berkaitan satu sama lain. Pemogokan sangat merugikan pihak pihak dalam hubungan industrial. Pemogokan total atau sebagian berakibat penurunan atau bahkan penghentian produktivitas. Serikat pekerja / buruh yang bijaksana akan berpikir jauh tentang rencana dilaksakannya pemogokan. Hasil dari pemogokan selalu dapat dihitung dengan mudah oleh pengusaha. Misalnya dalam satu hari kerja yang terdapat 8 jam kerja akan mengalami kerugian sebesar x rupiah. Kerugian itu dihitung dari perkiraan rata-rata hasilproduksi apabila dilakukan oleh sekian jumlah pekerja dlam waktu sekian jam. Ada baiknya pengurus serikat pekerja juga dibekali pengetahuan tentang managemen produksi, supaya tidak dengan mudah memutuskan ayo kita mogok kerja.

(f) sebagai wakil dalam memperjuangkan kepemilikan saham
Fungsi terakhir dari serikat pekerja / buruh adalah sebagai wakil pekerja / buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan. Fungsi ini merupakan upaya serikat pekerja dalam menyatukan dua kutup kepentingan pengusaha – pekerja yang berbeda. Kepentingan utama pengusaha adalah meningkatkan produktivitas dengan menghasilkan keuntungan yang besar. Di lain pihak kepentingan utama pekerja adalah mendapatkan penghasilan yang meningkat dalam bentuk terwujudnya peningkatan kesejahteraan.
Pekerja adalah mitra usaha pengusaha. Keduanya saling membutuhkan tanpa salah satupihak tidak tercipta hubungan industrial. Tidak dapat dipungkiri hasil keringat pekerja banyak pengusaha mencapai sukses bahkan tidak jarang yang berhasil memperluas usahanya. Alangkah baiknya apabila hasil keringat pekerja mendapat perhatian yang besar dari pengusaha dengan diikutkannya pekerja dalam pengelolaan perusahaan.
Peran serta pekerja dalam pengelolaan perusahaan (co-determination) adalah cara mewujudkan demokrasi di perusahaan melalui struktur perusahaan yang bersifat monistis yaitu di mana perencanaan dan pelaksanaan dilakukan dalam satu organisasi atau melalui perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah organisasinya [29]. Upaya ikut memiliki saham dapat dilakukan dengan co-determination ini. Sebagai ilustrasi pekerja yang berprestasi akan memperoleh imbalan penghargaan yang berupa bonus, insentif. Bonus atau insentif itu dapat dikumpulkan dengan tidak diambil oleh pekerja yang selanjutnya digunakan untuk pembelian saham perusahaan yang dijual terbuka. Dengan ikut memiliki sahammaka pekerja akan lebih merasa menjadi bagian dari usaha itu. Tentunya akan berdampak positif bagi peningkatan kinerjanya.
Selain itu untuk upaya meningkatkan kesejahteraan dapat pula dilakukan sitem kotak saran seperti yang dilakukan di Jepang. Setiap pekerja diberi kesempatan untuk mengajukan usul perbaikan system kerja yang bertujuan pada efisiensi dan peningkatan produktivitas kepada tim khusus yang dibentuk pengusaha. Apabila usul itu setelah diteliti, diuji coba ternyata terbukti menghasilkan efisiensi atau peningkatan produktifitas maka pekerja pengusul akan memperoleh imbalan yang relatif besar.

Daftar Pustaka
A. Masyhur Effendi, 1994, Hak asasi manusia, dimensi dinamika dalam hukum nasional dan internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Aloysius Uwiyono, 2001, “Hak mogok di Indonesia”, disertasi , Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Departemen P & K, ,1989, Kamus besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Frans Magins- Suseno, 1999, Etika politik, prinsip-prinsip moral dasar modern, , Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta.
H.M. Laica Marzuki, “ Mengenal karakteristik kasus-kasus perburuhan “, Varia Peradilan No. 133, IKAHI, Jakarta, Oktober 1996.
HP Rajagukguk, 2000, Peran serta pekerja dalam pengelolaan perusahaan (co-determination), makalah.
Iman Soepomo, 1974, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta
International union of food and allied worker’s associations, Buku pegangan untuk serikat buruh.

JJ. H. Bruggink alih bahasa Arief Sidarta, 1996, Refleksi tentang hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Kompas, 11 Februari 2006.

Kompas, 12 September 2000.
Laica Marzuki, Kedudukan Hukum buruh terhadap majikan, Lontara, hasanudin University Press, ujung Pandang, Nomor 12 tahun 1982.

Lancourt & Ulrich dalam Wahibur Rokhman, 2002, Pemberdayaan dan Komitmen : Upaya mencapai kesuksesasn organisasi dalam menghadapi persaingan global , Amara Books, Jogjakarta.

Payaman J. Simanjutak, 2004, “Reformasi system pengupahan nasional “, Informasi Hukum Vol. 5 Tahun VI.

Philipus M. Hadjon, Perlindungan hukum dalam negara hukum Pancasila, Makalah disampaikan pada symposium tentang politik, hak asasi dan pembangunan hukum Dalam rangka Dies Natalis XL/ Lustrum VIII, Universitas Airlangga, 3 November 1994.

------- , 1987, Perlindungan hukum bagi rakyat di IndonesiaBina Ilmu, Surabaya.

Philip Babcoks, 1993, A Merriam webster’s third new international dictionary of the English language un a bridged, Merriam Webster inc, publishers, Springfield, massa chusetts, U.S.A.

Prijono Tjiptoherijanto, 1999, Keseimbangan Penduduk , Managemen Sumber Daya Manusia dan Pembangunan Daerah, Sinar harapan, Jakarta.

Sentanoe Kertonegoro, 1999, Gerakan serikat pekerja (Trade unionism) Studi kasus Indonesia dan negara-negara industri, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia.
-------, 1999, Hubungan industrial, hubungan antara pengusaha dan pekerja (Bipartid) dan Pemerintah (Tripartid), YTKI, Jakarta.

-------, 1999, Kebebasan Berserikat (Freedom of Association), YTKI, Jakarta
Wijayanto Setiawan, 2006, “Pengadilan Perburuhan di Indonesia”, Ringkasan disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya.

Www.world-psi.org.

Zainal Asikin, et.al., 1993, Dasar-dasar hukum perburuhan, raja Grafindo Persada, Jakarta.


Original by me, Asri Wijayanti,

[1] Iman Soepomo, 1974, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, hal.6.
[2] Prijono Tjiptoherijanto, 1999, Keseimbangan Penduduk , Managemen Sumber Daya Manusia dan Pembangunan Daerah, Sinar harapan, Jakarta, hal. 57.
[3] Lancourt & Ulrich dalam Wahibur Rokhman, 2002, Pemberdayaan dan Komitmen : Upaya mencapai kesuksesasn organisasi dalam menghadapi persaingan global , Amara Books, Jogjakarta, hal. 122.
[4] Nur Hidayat, “Perhatian pada pengangguran , hanya di atas kertas”, Kompas, 11 Februari 2006. h. 50.
[5] HP Rajagukguk, 2000, Peran serta pekerja dalam pengelolaan perusahaan (co-determination), makalah , hal. 3.
[6] Ibid,hal. 6.
[7] Philipus M. Hadjon, Perlindungan hukum dalam negara hukum Pancasila, Makalah disampaikan pada symposium tentang politik, hak asasi dan pembangunan hukum Dalam rangka Dies Natalis XL/ Lustrum VIII, Universitas Airlangga, 3 November 1994.
[8] Zainal Asikin, et.al., 1993, Dasar-dasar hukum perburuhan, raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 5.
[9] JJ. H. Bruggink alih bahasa Arief Sidarta, 1996, Refleksi tentang hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 157.
[10] Frans Magins- Suseno, 1999, Etika politik, prinsip-prinsip moral dasar modern, , Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta, hal. 73.
[11] A. Masyhur Effendi, 1994, Hak asasi manusia, dimensi dinamika dalam hukum nasional dan internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.27.
[12] Philipus M Hadjon, , 1987, Perlindungan hukum bagi rakyat di IndonesiaBina Ilmu, Surabaya, hal. 71.
[13] Sentanoe Kertonegoro, 1999, Gerakan serikat pekerja (Trade unionism) Studi kasus Indonesia dan negara-negara industri, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta. Hal. 8.
[14] International union of food and allied worker’s associations, Buku pegangan untuk serikat buruh, hal. 17 – 24.
[15] Iman Soepomo, 1985, Pengantar Hukum Perburuhan , Djambatan, Jakarta, hal. 97.

[16] H.M. Laica Marzuki, “ Mengenal karakteristik kasus-kasus perburuhan “, Varia Peradilan No. 133, IKAHI, Jakarta, Oktober 1996, hal. 151.

[17] Aloysius Uwiyono, , 2001, “Hak mogok di Indonesia”, disertasi , Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta., hal. 217.

[18] Laica Marzuki, op.cit.

[19] Wijayanto Setiawan, 2006, “Pengadilan Perburuhan di Indonesia”, Ringkasan disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya, hal. 19.

[20] Laica Marzuki, Kedudukan Hukum buruh terhadap majikan, Lontara, hasanudin University Press, ujung Pandang, Nomor 12 tahun 1982 , h. 91.
[21] Kompas, 12 September 2000.
[22] Www.world-psi.org.
[23] Philip Babcoks, 1993, A Merriam webster’s third new international dictionary of the English language un a bridged, Merriam Webster inc, publishers, Springfield, massa chusetts, U.S.A. p. 921.

[24] Departemen P & K, ,1989, Kamus besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 245.


[25] Sentanoe Kertonegoro, 1999, Hubungan industrial, hubungan antara pengusaha dan pekerja (Bipartid) dan Pemerintah (Tripartid), YTKI, Jakarta, hal. 106.
[26] Payaman J. Simanjutak, 2004, “Reformasi system pengupahan nasional “, Informasi Hukum Vol. 5 Tahun VI.
[27] Sentanoe Kertonegoro, 1999, Kebebasan Berserikat (Freedom of Association), YTKI, Jakarta, hal 48.
[28] Sentanoe Kertonegoro, op. cit. , hal. 157
[29] HP Rajagugguk, op.cit., hal 13.


Silahkan menukil dengan menyertakan sumbernya. www.AsriWijayanti.blogspot.com

Tidak ada komentar: