Jumat, 19 September 2008

ijazah instan ?

Ijazah instan ?

(suatu bukti kesalahan sistim pendidikan di Indonesia)

By Asri Wijayanti.

Empat hari ini Jawa Pos menulis secara lengkap suatu praktek jual beli ijazah palsu. Memang pernah ada iklan yang patut diragukan dari sebuah Perguruan Tinggi Swasta yang menawarkan program studi yang sudah terakreditasi dengan biaya pendaftaran RP. 100.000, uang pangkal Rp. 1.000.000, SPP perbulan Rp. 100.000, sudah mencakup semuanya. Bagaimana cara pengelolaan keuangan untuk proses pembelajarannya ? Dengan rasio mahasiswa 25 orang per program studi mustahil dapat mengatasi semua kebutuhan.

Suatu berita yang tidak mengejutkan di dengar, bahkan saat dua puluh tahun yang lalu. Berita ini, dari sudut pandang lain merupakan suatu berita yang menyayat hati. Tatkala ijazah sebagai lambang formal, sebagai bukti otentik bukti yang diakui keabsahannya secara hukum, secara formil yuridis sah, tetapi secara materiil tidak mempunyai nilai bahkan nol besar. Mengapa ini terjadi di negara Indonesia yang mempunyai Pancasila sebagai sumber atau pandangan hidup bangsa ? Sila pertama Ketuhanan yang maha Esa. Semua perbuatan yang kita lakukan adalah suatu perwujudan atas persembahan kepada Allah SWT. Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Petikan putusan atau penetapan hakim di Indonesia selalu diawali dengan kalimat : “ Demi keadilan yang berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa”. Perasaan malu yang sangat dalam pada diri ini akan tabiat bangsa Indonesia.

Memang sebagian besar tenaga kerja Indonesia adalah unskill labour, mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini berarti hanya sangat sedikit sekali penduduk yang mengenyam pendidikan sampai S1. Di sisi lain, tuntutan pangsa kerja di Indonesia adalah mereka yang mempunyai gelar Sarjana. Untuk saat ini, gelar S1 sudah bukan suatu gelar yang dikagumi. Perkembangan membawa pandangan masyarakat untuk dapat meraih gelar yang lebih tinggi S2, bahkan S3. Bahkan untuk saat ini apabila lulusan S1 tidak mempunyai kompetensi sesuai keilmuannya, di pasar kerja mungkin hanya menduduki posisi operator produksi saja, sama dengan kondisi dua puluh tahun lalu posisi itu diisi lulusan SD / SMP.

Siapakah yang patut disalahkan terhadap kasus ini ? Rektor, Dekan dari PTS yang bersangkutan ? Kopertis ? atau Mentri Pendidikan Nasional ? terakhir ataukah Presiden Republik Indonesia wajib mempertanggung jawabkan hal ini ? atau cukup si pembeli dan penjual ijazah palsu itu saja ?

Secara sangat sederhana hanya pembeli dan penjual ijazah palsu itu saja yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Perbuatan itu memenuhi rumusan delik pemalsuan surat. Berdasarkan ketentuan Pasal 263 KUHP jo Pasal 264 KUH Pidana. Disebutkan :

Pasal 263.

(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti suatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, di. ancam bila pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, bila pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pasal 264.

(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, bila dilakukan terhadap:

1o. akta-akta otentik;

2o. surat utang atau sertifikat utang dari suatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;

3o. surat sero atau utang atau sertifikat sero atau utang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai;

4o. talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam nomor 2'. dan 3o, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;

5o. surat kredit atau surat dagang yang disediakan untuk diedarkan.

(2) Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat (1), yang isinya tidak asli atau yang dipalsukan seolah olah benar dan tidak dipalsukan, bila pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Ijazah merupakan salah satu bentuk suatu akta otentik. Berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata, Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Perbuatan memalsukan ijazah adalah perbuatan pidana dalam kategori kejahatan, si pelaku diancam penjara paling lama delapan tahun. Pertanyaan kemudian siapa sajakah yang dapat dihukum ? ya mereka yang melakukan perbuatan pemalsuan ijazah. Pertama adalah si penandatangan ijazah yaitu Rektor dan Dekan kemudian semua orang yang turut melakukan atau membantu melakukan perbuatan pidana itu. Apabila benar ijazah itu diberikan kepada orang yang sama sekali bukan dan tidak pernah menjalani proses pembelajaran oleh Rektor dan Dekan, maka Rektor dan Dekan sudah dengan sengaja menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya. Sedangkan orang yang membantu melaksanakan perbuatan pidana, ancaman hukumannya dikurangi sepertiganya, berdasarkan Pasal 55-57 KUH Pidana.

Cukupkah hanya sampai si pelaku ? TIDAK . Adanya ijazah palsu merupakan suatu bukti kesalahan sistem pendidikan di Indonesia. Indonesia sudah meraih kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, berarti umur kemerdekaan sudah mencapai 63 tahun. Suatu usia yang cukup tua. Jika dia orang sudah memasuki usia pensiun. Namun apakah pendidikan sudah dinikmati oleh bangsa Indonesia ? belum. Pendidikan sangat mahal. Bahkan dengan adanya perubahan Perguruan Tinggi Negeri sebagai suatu Badan Hukum Milik Negara lebih memperuncing suasana. Tiket masuk suatu program studi PMDK mandiri atau dulu disebut program ekstensi dapat berkisar antara 35 juta – 75 juta. Mereka yang masuk melalui jalur itu, kebanyakan gagal di perjalanan perkuliahan karena kemampuannya rendah, tidak dapat mengikuti materi perkuliahan dengan lancar. Suatu jumlah yang relatif sangat mahal ditengah dilema antri bantuan langsung tunai dan kasus tewasnya 21 wanita yang antri zakat maal di Pasuruan.

Kedudukan seorang guru hanya cukup bangga dengan syair lagu Hymne Guru. Pahlawan tanpa tanda jasa. Hal ini sangat bertentangan dengan kondisi bangsa Jepang saat Hirosima dan Nagasaki di bom oleh Sekutu. Pertanyaan kaisar Jepang saat itu adalah Berapa sensei yang meninggal ? Apa langkah kita untuk mempercepat lahirnya sensei baru ? Anggaran pendidikan menduduki posisi penting. Banyak buku asing diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Al hasil majulah bangsa Jepang. Karya seseorang sangat dihargai, dengan biaya pengurusan HAKI ditanggung negara.

Bagaimana dengan Indonesia? Kasus Umar Bakri mendominasi guru di Indonesia. Sampai ada iklan di TV sang Kepala sekolah SD harus rela menjual sepeda motor butungnya dan bekerja sebagai pemulung untuk membayar biaya perawatan rumah sakit anggota keluarganya. Guru bantu di sekolah dasar terpencil tidak menerima gaji selama berbulan-bulan ? Inikah bangsa yang menghargai ilmu ? Ternyata bukti menunjukkan bukan ilmu yang penting dalam kehidupan ini. Mencari ilmu bukan suatu ibadah. Tidak ada kenikmatan dalam mencari ilmu. Inilah potret bangsa kita yang bangga dengan kemunafikan. Predikat gelar kesarjanaan lebih nikmat dirasakan, bukan ilmu yang bermanfaat.

Bangsa kita telah mengalami krisis mental berkepanjangan. Sudah menjalar ke semua lini. Sangat memalukan jika dikatakan korupsi sebagai budaya bangsa Indonesia. Siapakah yang bertanggung jawab terhadap hal ini ? Pemimpin bangsa, yaitu Presiden Indonesia, siapapun orangnya. Sang pemimpin bangsa akan dimintai pertanggungjawaban atas orang-orang yang dipimpinnya. Mengapa sampai ada ijazah palsu? Perkuliahan fiktif cuma dengan biaya Rp 4 juta – Rp. 12 juta. Apakah ilmu seharga itu ? Sangat kecil nilainya jumlah itu apabila dibandingkan dengan hakekat memiliki ilmu yang sebenarnya. Ilmu yang diperoleh dengan suatu proses yang jujur. Proses yang mendasarkan pada kemampuan diri sendiri, bukan dengan jalan menipu. Tidak akan ada artinya ijazah tanpa dibarengi kemampuan ilmu yang terekap dalam transkrip nilai. Tinggal menunggu waktu saja untuk memetik hasil kebohongan itu. Tidak akan ada manfaatnya, apabila dipakai dasar sebagai syarat administratif mencari pekerjaan atau jabatan politik, termasuk bagi sang anggota DPR/ DPRD yang terhormat yang telah menipu rakyatnya. Dapat dipastikan pejabat yang menggunakan ijazah palsu pastilah dalam bekerja tidak akan pernah berpikir bahwa bekerja adalah suatu pelaksanaan ibadah. Yang terpikir hanyalah,” bagaimana memanfaatkan momen mumpung masih menjabat”. Kerangka inilah yang menjadi sebab mengapa angka golput pada pilkada terus meningkat. Rakyat sudah tidak mempercayai sang wakilnya. Mereka adalah pembohong.

Sistim pendidikan harus segera direvisi, harus dibuat naskah akademis dalam setiap perumusan peraturan perundangan tentang pendidikan nasional. Ada perasaan harapan senang dengan kenaikan dana pendidikan nasional menjadi 20 %. Itupun harus melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Untuk apakah kenaikan dana itu? Alokasi kenaikan dana yang asal-asalan tanpa mendasarkan pada kebutuhan pendidikan yang berkualitas, tentu akan sis-sia. Suatu proyek akan terbayang pada benak pikiran kita. Siapakah pemegang proyeknya? Hal ini sudah menjadi rahasia umum di setiap rapat yang berkaitan dengan anggaran di gedung DPR/DPRD. Banyak orang yang bukan anggota dewan terhormat, berdiri di luar ruang sidang untuk melakukan win win solution bagi kepentingannya. Amplop tersembunyi sudah dipersiapkan bagi anggota rapat.

Ubahlah sistim ini, secepat apa yang dapat kita lakukan. Perubahan harus dimulai dari atas. Kejujuran harus dimiliki oleh si pengemban kewenangan, mulai dari pembentuk Undang-Undang hingga yang menerapkan peraturan. Tindak tegas siapapun yang terlibat dalam ijazah palsu. Ciptakan mekanisme pengawasan yang bagus dengan orang yang mempunyai jiwa dan mental yang baik. Dan yang terakhir revisi sistim pendidikan kita. Dari sistim pendidikan yang mendasarkan bukti fisik (ijazah) ke arah kompetensi anak didik. Kompetensi akan moral dan ilmu pengetahuan. Kompetensi moral hanya bisa dicapai dengan menerapkan ajaran agama ke dalam sistim pendidikan. Agama seharusnya menjadi landasan setiap mata pelajaran atau mata kuliah, bukan menjadi bidang pelajaran atau nama mata pelajaran. Memiliki ilmu pengetahuan tanpa dibarengi moral yang baik, akan hancurlah bangsa Indonesia.

Ingatlah kembali wahai para guru …. (Dosen adalah guru)….anda mempunyai tanggung jawab mengajar dan mendidik). Tepatlah kiranya, untuk saat ini kita katakan apa yang dapat kita lakukan untuk bangsa dan negara Indonesia bukan apa yang dapat kita peroleh dari negara.

Tetaplah semangat !!!



[1] Dosen Kopertis wil VII dpk FH Univ Muhammadiyah Surabaya, mahasiswa S3 Ilmu HukumUnair

Tidak ada komentar: