Rabu, 17 September 2008

ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU SUIGENERIS

BAB I

ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU SUIGENERIS

1. Ilmu hukum yang suigeneris

Ilmu hukum adalah ilmu yang memiliki kepribadian yang khas (sui generis). Ciri ilmu hukum sebagai sui generis : karakter normatif ilmu hukum, Terminologi ilmu hukum, Jenis ilmu hukum, Lapisan ilmu hukum. Dari sudut kualitas sulit dikelompokkan dalam Ilmu Pengetahuan Alam atau dalam Ilmu Pengetahuan Sosial.

Pengelompokan yang kurang tepat bagi Ilmu Hukum ke dalam Ilmu Pengetahuan Sosial mempunyai pengaruh di bidang akademis. Gelar yang diberikan pada Strata dua (S2) ternyata mengalami perkembangan. Mulai dari Magister Science (MS), Magister Humaniora (M Hum) terakhir menjadi Magister Hukum (MH).

Ketidakpastian ini menurut Philipus M Hadjon, merupakan salah satu sebab terjadinya berbagai keracuan dalam usaha pengembangan ilmu hukum. Sebagian yuris Indonesia kehilangan kepribadiannya dan konsekuensi selanjutnya ialah pembangunan hukum melalui pembentukan hukum yang tidak ditangani secara profesional. Pendidikan hukum tidak jelas arahnya.[1]

Ilmu hukum adalah ilmu yang memiliki kepribadian yang khas (sui generis). Ciri ilmu hukum sebagai sui generis, adalah :

1. Karakter normatif ilmu hukum

2. Terminologi ilmu hukum

3. Jenis ilmu hukum

4. Lapisan ilmu hukum[2]


2. Karakter normatif Ilmu Hukum

Sulit untuk mengkategorikan ilmu hukum ke dalam kelompok ilmu yang mana, sehingga lebih tepat jika ilmu hukum adalah ilmu yang suigeneris. Ilmu hukum mempunyai 3 lapisan , jika dalam tataran dogmatic hukum dapatlah dikatakan bahwa ilmu hukum termasuk ilmu praktis, karena bertujuan untuk problem solving . Tetapi dalam tataran teori hukum ilmu hukum masuk ilmu normatif. Dalam tataran filsafat, tidak dapat ilmu hukum dipertanyakan masuk apa karena filsafat bukan ilmu, tetapi filsafat adalah induk dari ilmu.

Tidaklah cukup suatu penelitian hukum hanya melihat adanya perbedaan antara norma dan kenyataan di masyarakat. Di dalam kajian Ilmu Hukum haruslah mementingkan metode penelitian yang berlaku di dalam Ilmu Hukum sendiri.

Kesalahan selanjutnya dikatakan oleh Philipus M Hadjon bahwa mereka memaksa format penelitian ilmu sosial dalam penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif tidak menggunakan analisis kuantitatif (Statistik), serta merta penelitian hukum dikualifikasikan sebagai penelitian kualitatif.[3] Penelitian kualitatif ataupun kuantitatif termasuk ke dalam kategori Ilmu a posteriori. Sedangkan Ilmu Hukum merupakan suatu Ilmu a priori. Antara Ilmu a priori maupun a posteriori sama-sama mencari hukum, prinsip, rumusan dalam mengendalikan seluruh detil dan partikular pengetahuan. Disebutkan oleh Muhamad Zainuddin tentang pengertian Ilmu a posteriori adalah rangakaian pengetahuan yg diperoleh dari pengamatan inderawi dan eksperimen. Sedangkan Ilmu a priori : rangakaian pengetahuan yg diperoleh tidak dari pengamatan inderawi dan eksperimen tapi bersumber dari akal sendiri.[4] Penekanan dari perbedaan itu dari sudut pandangnya, bersumber dari panca indera atau bukan. Adapun karakteristik pengetahuan secara umum dikatakan sebagai ilmu apabila memenuhi criteria :

1. logico hipotetico verificative

2. generalized understanding.

3. theoretical construction

4. information about why and how (something behind).[5]

Karakteristik ilmu

Diterima nalar pembaca

logico hypotetico verificative … didukung bukti

(tdk selalu yg tampak)

diuji

generalized understanding.

- pembaca bisa membayangkan urutan peristiwanya ,

- punya makna reproducable

- dapat diulang / dilakukan juga di tempat yang lain


theoretical construction

- teori : penjelasan hubungan dua konsep/variable/kejadi

- cara : deduktif, induktif , dpt didukung comparacy,

analogy, syntesis

information about why and how --- diskripsi

Bentuk kejanggalan itu secara umum ada tiga yaitu adanya kata Tanya dalam rumusan masalah, sumber data, serta populasi. Ketiga kejanggalan itu memaksakan format penelitian ilmu sosial dalam penelitian hukum normatif.

Kejanggalan pertama yaitu adanya keharusan rumusan masalah dalam kalimat tanya. Kata-kata bagaimana, seberapa jauh, dan lain-lain, dipaksakan dalam rumusan masalah penelitian hukum normatif.[6] Pertanyaan yang boleh di dalam penelitian hukum adalah pertanyaan yang hanya dapat di jawab “ya” atau “tidak. Apabila pertanyaan dijawab dengan ya maka pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Ya . Dengan demikian akan dicari alasannya. Alasan dari jawaban itu harus berpangkal dari ketentuan norma hukum tertentu. Contoh pertanyaan hukum adalah : Apakah pembantu rumah tangga berhak atas ketentuan upah minimum propinsi / kota ? Pertanyaan itu hanya dapat dijawab ya atau tidak tidak mungkin dijawab dengan ya dan tidak. Dalam hal ini asas-asas logika dapat diberlakukan. Hal ini akan dijelaskan dalam Bab selanjutnya.

Kejanggalan kedua yaitu berkaitan dengan bahan hukum. Oleh Philipus M Hadjon dikatakan bahwa sumber data, teknik pengumpulan data dan analisis data. Tanpa disadari bahwa data bermakna empiris, sedangkan penelitian hukum normatif tidak mengumpulkan data.[7]

Kejanggalan ketiga yaitu berkaitan dengan Populasi dan sampling. Oleh Philipus M Hadjon dikatakan bahwa seorang peneliti hukum normatif tidak boleh membatasi kajiannya hanya pada satu undang-undang. Dia harus melihat keterkaitan undang-undang tersebut dengan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian populasi dan sampling tidak dikenal dalam penelitian hukum normatif.[8] Penelusuran penelitian hukum lebih dikenal dengan system penarikan peraturan atau norma hukum secara vertical dan horizontal. Dapat dengan ketentuan yang lebih tinggi atau yang lebih rendah. Supaya memudahkan pemahaman dapat dijelaskan dalam Skema di bawah ini :


Ketentuan hukum yang lebih tinggi

UUD

Kasus yang sedang dihadapi

UU……. Pasal ……. Dari UU No… Tahun….. UU

Ketentuan di bawahnya

Peratuan Pemerintah

Peraturan Presiden

a. Hukum kebiasaan

b. Yurisprudensi

c. Traktat / perjanjian

d. Doktrin

Penelusuran aturan hokum

Apabila kita melakukan penelitian atau kajian Ilmu Hukum maka metode yang dipakai adalah metode penelitian hukum. Ada dua pendekatan ialah :

a. Pendekatan dari sudut falfasah ilmu

b. Pendekatan dari sudut pandang teori hukum.[9]

Untuk menjelaskan hakikat keilmuwan hukum apabila pendekatan ditinjau dari sudut falfasah ilmu, dapat digambarkan dalam skema 5 di bawah ini :

1. Pandangan positivistis ….Ilmu empiris

- sociolological jurisprudence

- socio legal jurisprudence




Ilmu hukum empiris

- penelitian kualitatif-kuantitatif

( the gab is described but is rarely explained )

2. Pandangan normatif

Ilmu normatif

Ilmu hukum normatif

Skema 6 : Pendekatan falsafah ilmu

Pendekatan dari sudut teori hukum di bagi atas tiga lapisan utama, yaitu : dogmatik hukum, teori hukum (dalam arti sempit) dan filsafat hukum. Diantara ketiga lapisan ilmu hukum semuanya memberikan dukungan pada praktik hukum. Ilmu mencakup aspek proses (scientific research), prosedural (scientific method) dan produk (scientific knowledge). Ketiganya membentuk segi tiga konotasi ilmu (the trifold connotation of science).[10] Memang pegelompokan ilmu terdapat bermacam- macam pendapat. Shidarta membagi ilmu pada dasarnya ada dua yaitu ilmu formal dan ilmu empiris (Ilmu Positif). Perbedaan ilmu- ilmu Formal dan empiris tampak dalam tabel 7[11] di bawah ini :

Ilmu-Ilmu Formal

Ilmu-Ilmu Empiris

Hal yang diselidiki

Sistem penalaran dan perhitungan

Gejala Faktual

Pendekatan kebenaran

Formal

Material

Pengetahuan yang dihasilkan

Apriori

Aposteriori

Ilmu yang termasuk kelompok ini

Logika, Matematika dan teori sistem

Ilmu-Ilmu Alam (Naturwissenchsften) dan Ilmu-Ilmu kemanusiaan

( Geites-wissenchsften)

Tabel 7 : Perbedaan lmu Formal dan Empiris.

Menurut van Melsen, Ilmu Hukum pada hakikatnya adalah seni praktis yang berasal dari keperluan kongkrit untuk mengadili (seni kehakiman). Terhadap terjemahan dari pendapat van Melsen ini seharusnya “ars”tidak diartikan sebagai seni kehakiman tetapi sebagai kemampuan berkeahlian hukum di bidang kehakiman. Ilmu Praktis merupakan lawan dari ilmu teoritis. Perbedaan antara ilmu- ilmu teoritis dengan ilmu-ilmu praktis dapat digambarkan dalam tabel 8 di bawah ini :

Ilmu-Ilmu Teoritis

Ilmu-Ilmu Praktis

Nomologis

Normologis

Dalil logika

Bisa kausalitas /imputasi

Kausalitas

imputasi

Contoh ilmu yang termasuk kelompok ini

Ilmu- Ilmu formal dan ilmu-ilmu empiris

Ilmu kedokteran, Ilmu Tekhnik, Ilmu Managemen, Ilmu Komunikasi, Palemologi.

Otoritatif : ilmu Hukum

Non otoritatif : Etika Pedagogi

Tujuan

Sekedar menambah pengetahuan

Menawarkan penyelesaian atas suatu yang problema konkret

Penggunaan produknya

Produknya tidak digunakan sendiri untuk memecahkan problema konkret ( diserahkan kepada ilmu lain untuk menggunakannya)

Produknya merupakan tawaran penyelesaian langsung atas suatu problem konkret.

Kerjasama dengan ilmu lain

Cenderung tidak dilakukan (monodisipliner)

Menjadi keharusan (multidisipliner)

Kandungan seni

Tidak mengandung sifat seni (ars)

Mengandung sifat seni (ars).

Tabel : Perbedaan ilmu- ilmu teoritis dengan ilmu-ilmu praktis


Dari table di atas, posisi Ilmu Hukum tampaknya memang merupakan bagian dari ilmu praktis yang normologis. Pendapat itu kurang tepat. Ilmu hukum mempunyai 3 lapisan , jika dalam tataran dogmatic hukum dapatlah dikatakan bahwa ilmu hukum termasuk ilmu praktis, karena bertujuan untuk problem solving . Tetapi dalam tataran teori hukum ilmu hukum masuk ilmu normatif. Dalam tataran filsafat, tidak dapat ilmu hukum dipertanyakan masuk apa karena filsafat bukan ilmu, tetapi filsafat adalah induk dari ilmu.

3. Terminologi Ilmu Hukum

Apabila kita berbicara mengenai terminology ilmu hukum maka kita akan menelursuri kembali asal kata dasi suatu istilah. Dalam bahasa Belanda, Jerman dan bahasa Inggris digunakan istilah berikut :

- Rechtswetenschap (Belanda)

- Rechtstheorie (Belanda)

- Jurisprudence (Inggris)

- Legal science (Inggris)

- Jurisprudenz (Jerman) [12]

JJ.H Bruggink menggambarkan perbedaan antara ilmu hukum empiris dengan ilmu hukum normatif sebagai berikut [14] :



Pandangan positivistic :

ilmu hukum empirik

Pandangan normatif :

Ilmu hukum normatif

Hubungan dasar

Subyek – obyek

Subyek – subyek

Sikap ilmuwan

Penonton (toeschouwer)

Partisipan (doelnemer)

PERSPEKTIF

EKSTERN

INTERN

Teori kebenaran

Korespondensi

Pragmatik

Proposisi

Hanya informative atau empiris

Normatif dan evaluatif

Metode

Hanya metode yang bisa diamati panca indra

Juga metode lain

Moral

Non kognitif

Kognitif

Hubungan antara moral dan hukum

Pemisahan tegas

Tidak ada pemisahan

Ilmu

Hanya sosiologi hukum empiris dan teori hukum empiris

Ilmu hukum dalam arti luas

Skema : perbedaan antara ilmu hukum empiris dengan ilmu hukum normatif


Tentang penggunaan teori kebenaran dari ilmu hukum yang pragmatis, ternyata masih belum ada kesepakatan diantara ahli hukum. Masih ada perdebatan tentang penggunaan teori kebenaran yang dipakai dasar, antara koherensi dengan pragmatis. Mereka berpendapat, apabila suatu aturan hukum dibuat dengan hanya mendasarkan teori kebenaran yang pragmatis, akan mengakibatkan timbulnya kesesatan. Sebagai contoh pada wakil rakyat kita yang duduk di DPR, apabila mereka akan menggunakan dasar kebenaran pragmatis dengan menekankan hanya pada konsensus di antara anggota DPR tanpa memperhatikan konsep dan teori hukum akibatnya produk hukum jauh dari rasa keaadilan. Hal ini mengingat suara wakil rakyat kita yang duduk di DPR hanya menyarakan suara Partai atau ada kepentingan di balik itu. Tetap kebenaran yang dipakai adalah koherensi. Prinsip teori kebenaran koherensi adalah dikatakan benar apabila sesuai dengan yang seharusnya.


5. Lapisan Ilmu Hukum

Filsafat Hukum





Grodbegrippen, reflektif, spekulatif




meta - teori meta – teori

Teori Hukum

Algemene begrippen, analitis, normatif-empiris

Sebagai jembatan dari algemene rechtsleer

Isi : asas hukum dari sistem hukum

Dogmatik Hukum

technischjuridisch begrippen, tekhnis yuridis, normatif

teori teori teori











Hukum Positif




ARS





Pembentukan hukum Penerapan hukum

interpretasi, kekosongan hukum, antinomi, norma kabur

Legal problem solving

Menurut Philipus M Hadjon, dogmatic hukum (ilmu hukum positif) adalah ilmu hukum praktis. Fungsi ilmu praktis adalah problem solving. Dengan demikian, dogmatic hukum sebagai ilmu hukum praktis tujuannya adalah legal problem solving. Untuk tujuan tersebut dibutuhkan ars, yang merupakan ketrampilan ilmiah. Ars itu dibutuhkan para yuris untuk menyusun legal opinion sebagai output dari langkah legal problem solving. Ars yang dimaksud adalah legal reasoning atau legal argumentation, yang hakekatnya adalah giving reason.[16] Giving reason dapat dilakukan dengan melalui tahap pembentukan hukum positf atau penerapan hukum positif. Pada pembentukan hukum pada dasarnya dilakukan apabila norma hukum positif belum ada. Pada penerapan hukum dilakukan apabila noema hukum positif sudah ada untuk diterapkan pada suatu kasus yang ada tetapi masih memerlukan interpretasi, kekosongan hukum, antinomi, norma kabur.

Latihan


1. Apa yang dimakksud dengan ilmu hukum adalah ilmu yang sui generis ? Jelaskan.

2. Di dalam pengelompokan ilmu, ilmu hukum termasuk dalam kelompok bidang ilmu apa ? Jelaskan berdasarkan pendapat ahli hukumnya !

3. Dalam kepustakaan Indonesia, Ilmu Hukum sering disalah artinya dengan Rechtswetenschap (Belanda), Rechtstheorie (Belanda), Jurisprudence (Inggris), Legal science (Inggris) dan Jurisprudenz. Jelaskan perbedaan istilah-istilah itu !

4. Berikan contoh kasus penelitian Sociological jurisprudence dan Socio – legal studies !

5. Jelaskan mengenai lapisan ilmu hukum serta hubungan antara lapisan itu dengan menyebut karakteristiknya !

6. Apakah ars dapat diartikan sebagai seni ? legal argumentation pada dasarnya merupakan suatu ars. Jelaskan arti dari kalimat itu !

Daftar Pustaka

AGM van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan tanggung jawab kita, terjemahan K Bertens ,Gramedia, Jakarta, 1985.

Asri Wijayanti, Efektivitas Pasal 4 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2000 dalam peningkatan hubungan industrial, Penelitian yang dibiayai DP2M Dikti, 2007.

Bruggink, JJH., alih bahasa, Arief Sidharta, Refleksi tentang hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. 1996.

Jan Gijssels dan Mark Van Hoecke, What is rechtsteorie ?, Kluwer Antwerppen, 1982.

Lord Lloyd O Hamstead dan MDA Freeman, dalam Lloyd’s Introduction to Jurisprudence, ELBS/Steven, 1985.

Muhamad Zainuddin, Metode Sains, Bahan Kuliah Logika dan Metode Sains, Pasca Sarjana, Univ. Airlangga, 2006.

-------, Metode Penelitian, Bahan Kuliah Logika dan Metode Sains, Pasca Sarjana, Univ. Airlangga, 2006.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005.

Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, UGM Press, Surabaya, 2005.

Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke indonesiaan,Utomo, Bandung, 2006.

Siti Rachmana Bintari, “Pengaruh berlakunya Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 terhadap kawin dampulan di Kabupaten Dati II Bojonegoro”, Tesis, Pasca Sarjana Universitas Airlangga, 1991.



[1] Ibid

[2] Ibid.

[3] Philipus M. Hadjon, Op.cit., hal 2.

[4] Muhamad Zainuddin, Metode Penelitian, Bahan Kuliah Logika dan Metode Sains, Pasca Sarjana, Univ. Airlangga, 2006, hal. 8.

[5] Ibid.

[6] Ibid

[7] Ibid.

[8] Ibid,

[9] Ibid.

[10] Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke indonesiaan,Utomo, Bandung, 2006, hal. 41.

[11] Ibid., hal 43.

[12] Philipus M Hadjon, Ibid.

[13] Peter Mahmud Marzuki, op. Cit., hal. 20.

[14] Bruggink, JJH., alih bahasa, Arief Sidharta, Refleksi tentang hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. 1996, hal 127.

[15] Ibid., hal 10.

[16] Ibid., hal 12.

Tidak ada komentar: